Minggu, 19 Juli 2015

Kondisi Perekonomian Orde Baru

KONDISI EKONOMI INDONESIA PADA AWAL MASA ORDE BARU

Di awal Orde Baru, Suharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,” kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Suharto.

Orang yang dulu dikenal sebagai salah seorang Emil Salim penasehat ekonomi presiden menambahkan langkah pertama yang diambil Suharto, yang bisa dikatakan berhasil, adalah mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di bawah 15% dalam waktu hanya dua tahun. Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Suharto membuat kebijakan yang berbeda jauh dengan kebijakan Sukarno, pendahulunya. Ini dia lakukan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.

Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRSNo.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.

Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti :

a. Rendahnya penerimaan Negara

b. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara

c. Terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank

d. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi  impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.

Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:

Mengadakan operasi pajakCara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.

Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas. Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima Tahun) yang dengan melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.

Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.

Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI.

1. Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)

Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.

Tujuan Pelita I       :

Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.

Sasaran Pelita I     :

Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.

Titik Berat Pelita I   :

Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.

Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.

2. Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)

Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.

3. Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)

Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur PemerataanInti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.

Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut.

Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.4. Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)

Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.

5. Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)

Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapakan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.

Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

6. Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)

Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.

Disamping itu Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980. Puncaknya adalah penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.

Keberhasilan Pak Harto membenahi bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an diawali dengan pembenahan di bidang politik. Kebijakan perampingan partai dan penerapan azas tunggal ditempuh pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman masa Orde Lama ketika politik multi partai menyebabkan energi terkuras untuk bertikai. Gaya kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto pada masa Orde Baru oleh Kwik Kian Gie diakui memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian Indonesia yang berantakan di akhir tahun 1960.

Namun, dengan menstabilkan politik demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun, semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde Baru kemudian tidak diberi tempat.

Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Akhir Masa Orde Baru

Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)

Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.

Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak.

Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas di tengah jalan.

Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela, Pembagunan yang dilakukan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh.. Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.

Pembagunan tidak merata  tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997.membuat perekonomian Indonesia gagal menunjukan taringnya.
Namun pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru merupakan pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya.

Dampak Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru :

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnyapun dapat terlihat secara konkrit.Indonesia mengubah status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.Penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin meningkat.

Dampak Negatif Kebijakan ekonomi Orde Baru :

Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alamPerbedaan ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial)Menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)Pembagunan yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh.Pembagunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilahh yang selantunya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997.

DAFTAR PUSTAKA

http://rinahistory.blog.friendster.com/2008/11/indonesia-masa-orde-baru/http://id.wikipedia.org/wiki/Soehartohttp://www.indonesiaindonesia.com/f/2390-indonesia-era-orde-baru/

Sumber

https://adypato.wordpress.com/2010/06/16/kondisi-ekonomi-indonesia-pada-masa-orde-baru/

Kondisi politik 1980-1990


Politik Indonesia Akhir 1980-an - Awal 1990-an, Sebuah Kajian Kontemporer

Kehidupan Politik Indonesia pada tahun 1990-an dilatarbelakangi pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Kebijakan-kebijakan ekonomi, terutama sejak jatuhnya pasar minyak dunia pada awal tahun 1880-an, telah menuaikan hasil. Indonesia telah menderagulasi perekonomiannya, membebaskan sektor perbankan, dan dengan sekuat tenaga memajukan sektor nonmigas. Bank Dunia pun menunjuk Indonesia sebagai suatu “ekonomi Asia Timur yang berkinerja tinggi” dan meramalkan bahwa Indonesia akan memasuki jajaran bangsa-bangsa dengan pendapatan per-kapita menengah menjelang peralihan abad.

Legitimasi Orde Baru milik Soeharto sebagian terdapat pada pembangunan ekonomi yang sukses. Soeharto telah berhasil “memenuhi” janjinya terhadap perkembangan ekonomi. Pemenuhan janji inilah yang 25 tahun yang lalu dirancang oleh Soeharto, Ali Moertopo, dan lain-lain, yang menjadi tulang punggung legitimasi Orde Baru. Orde Baru selalu bisa membandingkan keberhasilannya dengan kehancuran ekonomi pada masa Soekarno. Latar belakang kehancuran ekonomi masa Soekarno telah memberikan konteks yang mendukung bagi legitimasi ideologis yang didasarkan pada janji untuk meluruskan penyelewengan-penyelewengan Pancasila oleh Soekarno. Konsekuensi dari penyelewengan tersebut adalah tidak stabilnya kondisi politik dan perekonomian yang kacau, demikian kata Orde Baru. Tetapi ada pula suara-suara yang menuntut pelurusan implementasi Pancasila dan mengkritik program pembangunan Orde baru yang dianggap sebagai anti-Pancasila. Misalnya, Sri Bintang Pamungkas, yang mengatakan bahwa asas “keadilan sosial” Pancasila telah dilanggar oleh ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan. Namun, kritik-kritik seperti itu harus menghadapi kenyataan adalah suatu ekonomi politis yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang cepat dan industrialisasi. Dengan demikian, kritik-kritik yang menggunakan Pancasila sebagai pelegitimasian kritik terhadap pemerintah, dilancarkan pada lingkungan ekonomis yang sangat berbeda dari kondisi pada awal Orde Baru.

Perpolitikan formal yang diizinkan di Indonesia pada masa ini secara resmi ditandai oleh konformitas ideologi, semuanya didasarkan pada Pancasila. Islam sebagai suatu gerakan politik, tidak diizinkan menampilkan ideologi alternatifnya terhadap Pancasila, dalam bentuk oposisi terorganisasi terhadap rezim Orde Baru. Partai “Islam”, seperti PPP, tidak pernah memperoleh kekuatan sebagaimana yang dimiliki partai-partai Islam dalam periode sebelum tahun 1973. Kenyataannya, pada tahun 1980-an, banyak orang Islam yang memutuskan untuk menyalurkan aspirasi pada partai pemerintah, Golkar, sebagai cara terbaik. Perkembangannya, pada akhir 1980-an, Presiden Soeharto jarang menyebut ekstremisme Islam sebagai ancaman terhadap Pancasila, pemerintah, atau dirinya. Tidak terlihat adanya ancaman ideologis terhadap Orde Baru baik dari komunis, atau dari Islam fundamentalis.

Wacana Ideologis pada masa ini juga dipengaruhi oleh suatu perkembangan baru, pemerintah mengumumkan bahwa Pancasila adalah suatu “ideologi terbuka”. Pada tahun 1984, Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila itu “terbuka” dalam pelaksanaan dan prakteknya. Menurut pakar politik terkemuka, almarhum Alfian, Pancasila sering hanya dipakai untuk memperlihatkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan, bukannya yang dikehendaki oleh ideologi tersebut.

Konsepsi Soeharto tentang Pancasila sebagai suatu “ideologi terbuka” menggambarkan bahwa beliau menyadari adanya implikasi-implikasi politis dari pemakaian dan fungsi Pancasila dalam wacana nasional. Yaitu, Soeharto selalu membedakan antara penerapan Pancasila yang tidak berbahaya dengan penerapan Pancasila yang mungkin dapat membahayakan kekuasaan atau prerogratif presiden. Nurcholish Madjid menafsirkan kata-kata “ideologi terbuka” berarti bahwa nilai Islam itu sesuai dengan Pancasila, jadi umat tidak boleh menentang Pancasila dengan keyakinan agama. Ideologi terbuka seperti inilah yang bisa diterima. Namun, jika ada upaya untuk memakai Pancasila dengan tujuan menyerang pemerintah, itu tidak akan ditolerir.

Pada perkembangan Pancasila sebagai “ideologi terbuka” dan penerimaan formal Pancasila sebagai “asas tunggal” oleh semua organisasi, pemerintah terus melihat adanya ancaman-ancaman terhadap Pancasila dalam lingkungan yang katanya tidak terdapat ancaman ideologis ini. Sejak akhir tahun 1980-an, pejabat-pejabat pemerintah, terutama ABRI, melihat adanya ancaman dari wilayah demokrasi dan hak asasi. Akhirnya muncul kembali ideologi “integralisme” dan upaya ABRI untuk mengartikan ulang makna Pancasila sebagai suatu ideologi “integralistik”. Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa munculnya kembali integralisme adalah persepsi diri rezim, terutama ABRI, bahwa mereka tidak lagi memonopoli wacana Pancasila. Kebangkitan kembali integralisme juga terjadi disaat Islam mulai dikooptasikan secara terbuka oleh Soeharto. Tekanan untuk adanya keterbukaan dan demokratisasi yang makin meningkat pada akhir 1980-an juga menambah kecemasan ABRI.

Sejak 1988 percaturan politik Indonesia semakin didominasi ketidakpastian, isyu politik banyak beredar, terutama tentang apa yang akan terjadi setelah turunnya Soeharto. Perdebatan tentang suksesi ini telah secara efektif didominasi oleh Soeharto sendiri. Dia masih merupakan satu-satunya tokoh politik dominan di Indonesia. Soeharto adalah satu-satunya angkatan '45 yang masih mempunyai jabatan. Kemudian terjadi perkembangan yang penting, Indonesia tidak lagi diperintah oleh sekumpulan orang tua, telah terjadi regenerasi dalam kepemimpinan di segala bidang. Pemilihan anggota kabinet pada Maret 1993 menggambarkan pembaharuan dalam berbagai posisi kabinet senior, termasuk para penasehat Soeharto yang telah lama menjabat. Pergeseran penting terjadi dalam aliansi-aliansi dalam kepemimpinan politis. Walau Soeharto masih menonjol, tetapi ABRI tidak lagi sepenuhnya mendukung beliau. Ini sudah terlihat sejak tahun 1988 ketika militer berkampanye menentang Soeharto dalam hak wakil presiden, namun tidak ada hasilnya. ABRI lebih berhasil pada tahun 1995, yang pada suatu rekayasa berhasil memaksa Soeharto menerima Jenderal Try Sutrisno, yang merupakan Panglima ABRI, sebagai wakil presiden. Dan juga terdapat persepsi dikalangan ABRI bahwa kepentingan politis Soeharto tidak lagi sejalan dengan kepentingan ABRI tentang institusional dan nasionalnya sendiri.

Tahun 1990-an merupakan masa kebangkitan kultural Islam di Indonesia. Islam telah mengalami suatu renaisans intelektual dan kultural selama dua dasawarsa. Satu perkembangan mencolok dalam lingkungan politik adalah tidak terdengarnya lagi kecurigaan Islam terhadap Pancasila. Sebagian politisi Islam memuji pemerintahan Soeharto telah berbuat lebih banyak untuk Islam. Perkembangan selanjutnya adalah munculnya Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam yang paling dinamis di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid, beliau berada di garis depan sebagai pejuang demokratisasi di Indonesia, dengan menegaskan bahwa Islam dan demokrasi itu saling bersesuaian. Para pemikir Islam yang terkemuka, misalnya Nurcholish Madjid, terus melakukan pemikiran kembali dan penafsiran kembali Islam dalam konteks Indonesia. Norcholish, Abdurrahman wahid, dan pemikir Islam lainnya merupakan generasi baru ilmuwan Islam provokatif yang menggambarkan Islam dalam suatu konteks Indonesia yang inklusif dan demokratis tanpa keharusan untuk mendirikan negara Islam.

Hubungan pemerintah dengan Islam telah berubah secara dramatis sejak 1985. Presiden Soeharto secara terbuka telah mensponsori pembentukan ICMI, suatu organisasi baru Islam yang besar. ICMI telah menarik partisipasi para aktivis, ilmuwan dan politisi yang tadinya menentang kepemimpinan Soeharto. Perkembangan-perkembangan yang berkaitan dengan ICMI dan NU menandai kembalinya perpolitikan Islam berbasis massa di Indonesia.

Dalam tahun-tahun sebelum 1990-an telah muncul dua tantangan terhadap dominasi pemerintah terhadap Pancasila, yaitu dari Islam, dan dari sejumlah isyu termasuk demokratisasi dan hak asasi. Isyu tersebut memperkuat persepsi pemerintah tentang adanya ancaman terhadap Pancasila. Pada tubuh rezim juga terdapat perubahan penting dalam wacana Pancasila, berkaitan dengan persepsi ABRI tentang adanya ancaman ideologis dan hubungan militer dengan Soeharto.

Perkembangan umum dan kecenderungan yang terjadi pada tahun 1980-an dan 1990-an menunjukkan munculnya dua paradoks besar dari Orde Baru-nya Soeharto. Pertama, walau terdapat perkembangan ekonomi dan kemakmuran ekonomi yang terus tumbuh, tetapi diiringi kecemasan para elite politik bahwa pertumbuhan ekonomi terancam oleh perebutan kekuasaan internal yang berkaitan dengan perpolitikan suksesi. Kedua, walau gerakan Islam semakin ditandai oleh pemikiran inklusif, progresif dan bahkan revolusioner dalam hal hubungan Islam dengan negara, Islam di Indonesia ditandai oleh meningkatnya intoleransi dan perbantahan pada tingkat kultural, dan kemungkinan pada tingkat politis juga.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber:

Adnan Buyung Nasution, Cita-cita untuk Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Sebuah Studi tentang Sosio-legal Konstituante Indonesia, 1956-1959. Jakarta: Sinar Harapan, 1992.

Einar M. Sitompul, Nahdladul Ulama dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.

Notonagoro, Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1951.

Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan. Jakarta: Mizan, 1987.

Ramage, Douglas E., Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi. Yogyakarta: Matabangsa, 2002.

http://www.kompasiana.com/spirdiac/politik-indonesia-akhir-1980-an-awal-1990-an-sebuah-kajian-kontemporer_54ff6d9ea333114e4a5102c6

Sabtu, 18 Juli 2015

Indonesia Atlantis yang hilang

Benarkah The Lost Atlantis Itu Indonesia?

 July 17, 2015  

Dua anak bangsa, Ahmad Y Samantho dan Oman Abdurrahman kembali mengajak masyarakat Indonesia membeberkan sebuah misteri peradaban dunia yang tak pernah terungkap sebelumnya, Atlatis.

Atlantis merupakan sebuah kekaisaran dunia yang menjadi sumber segala peradaban. Surga yang disebut-sebut oleh berbagai Tradisi Suci dunia. Namun, enarkan Indonesia adalah Atlantis yang hilang?

Untuk menjawab hal tersebut, keduanya mencoba menjawab dengan sebuah buku ‘Peradaban Atlantis Nusantara’ yang telah dibedah di Auditorium Nurcholis Madjid, Kampus Paramadina, Jakarta, Kamis (28/7/2011).

Berawal dari kegelisahan intelektual-spiritual yang mempertanyakan jati diri bangsa Indonesia mengantarkan Ahmad Yanuana Samantho bertemu dengan berbagai pemikiran filosofis dan sumber informasi tentang sejarah peradaban awal umat manusia di Atlantis yang berasal dari Filosof Yunani abad ke IV SM, Plato.

Dalam catatannya, Plato menulis bahwa Atlantis terhampar di seberang pilar-pilar Herkules dan memiliki angkatan laut yang telah menaklukkan Eropa Barat dan Afrika 9000 tahun sebelum zaman Solon. Namun, Atlantis akhirnya tenggelam ke dalam samudra hanya dalam waktu satu hari satu malam.

Dalam bukunya, Timaeus dan Critias, Plato menyatakan puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak diikuti gempa bumi yang amat dahsyat serta pencairan es dunia yang menyebabkan banjir besar. Peristiwa itulah yang mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian yang tenggelam itulah yang disebutnya benua yang hilang atau The Lost Atlantik.

“Yang lebih menakjubkan lagi, saya membaca buku karya Arysia Nunes des Santos yang menyimpulkan bahwa Indonesia adalah lokasi benua Atlantis yang hilang itu,” katanya.

Dalam bukunya yang berjudul Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilitation, Santos menampilkan 33 perbandingan ciri-ciri dari 12 lokasi di muka bumi yang diduga para sarjana lain sebagai situs Atlantis seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, kekuatan maritim, cara bertani dan lain-lain. Akhirnya Santos menyimpulkan bahwa Atalntis itu adalah Indonesia sekarang.

Oleh karenanya, penulisan buku ini, imbuh Ahmas Samantho terinspirasi oleh situasi yang membawa siapa saja masuk dalam krisis dimensional yang memaksa harus mengikuti peradaban barat yang merusak peradaban lokal.

“Sehingga ini merupakan tugas kita untuk melakukan derekontruksi untuk membangun kembali. Dari buku ini diharapkan bisa membuat rekonstruksi melalui agama-agama yang tidak diartikan secara sempit. Mimpi saya adalah membangun kembali peradaban di nusantara,” ujarnya.

Lalu, adakah hubungan Atlantis di Nusantara dengan Kerajaan Kandis di Riau? Adakah hubungan Kandis dengan mitos setempat tentang adanya kaum ‘siluman roh harimau’ yang konon berkhidmat kepada para pimpinan bangsa Atlantis? Adakah Atlantis itu peradaban. Yang dibangun Nabi Adam, dilanjutkan Nabi Idris (Hermes Trimegistus), Nabi Nuh dan Nabi Sulaiman. Adakah semua itu terkait dengan kearifan abadi berbagai agama dan tradisi dunia?.

Dengan pertanyaan tersebut, ia mengaku telah menemukan benang merah yang sama tentang sumber akar ketuhanan yang sama dari Hindu, Budha, Zoroaster, Yahudi, Konfusianisme-Taoisme, Kristen-Nasrani, Islam bahkan filsata-ideologi Pancasila.

“Kenyataan bahwa sebuah peradaban besar pernah mengambil tempat di bumi Nusantara kini bukan hanya cerita belaka. Berbagai penemuan spektakuler dan mencengangkan terbaru, diungkap dalam buku ini,” tuturnya.

Hal senada juga disampaikan oleh lulusan S2 ITB, Oman Abdurahman yang menyatakan adalah tugas pemerintah untuk membaca buku ini guna mengambil hikmah dalam mengambil kebijakan.

Ia mengatakan, tujuan pembuatan buku ini adalah untuk menggali kekayaan Nusantara.

“Saya dulu aktivis islam dan sempat dituduh terlibat NII oleh polisi. Tapi setelah saya diminta memaparkan tentang Pancasila, akhirnya mereka yakin bahwa saya sangat pancasilais,” ungkapnya.

http://berita24h.com/news/nasional/2015/07/17/benarkah-the-lost-atlantis-itu-indonesia.html