Sabtu, 20 Mei 2017

NKRI menurut NU

NKRI DALAM PANDANGAN ASWAJA

FIQH ASWAJA DALAM MENGHADAPI RADIKALISME
A.     Pendahuluan
Nahdlatul Ulama’ (NU), sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan diniyyah-ijtima’iyyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai basis teologi dan menganut salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) sebagai pegangan dalam berfiqh (hukum). Ini bukan konsep belaka, melainkan telah terbukti dalam praktek beragama warga NU melalui bimbingan serta keteladanan para ulama’, baik dalam urusan pribadi, keluarga, bermuamalat dan tak terkecuali adalah urusan berbangsa dan bernegara.
Al-Sunnah wal Jama’ah tiada lain adalah ajaran agama Islam yang murni, maka perwatakan (karakteristik)-nya adalah juga karakteristik agama itu sendiri dan yang paling esensial adalah al-Tawassuth, jalan pertengahan, tidak kekanan-kananan atau kekiri-kirian dan Rahmatan lil ‘Alamanin.[1] Pada persoalan berbangsa dan bernegara, karakteristik ini benar-benar tercermin dalam dinamika perjuangan NU dan ulama’ pesantren sejak masa revolusi hingga detik-detik proklamasi kemerdekaan, bahkan ikut mewarnai dan terlibat langsung saat kelahiran NKRI yang kita cintai ini. Berkat kegigihan pada ulama’ sebagai soko-guru NU, karakteristik itu senantiasa tetap terjaga dengan baik pada masa-masa berikutnya hingga hari ini, walaupun harus menghadapi hambatan serta tantangan, dan itulah sebenarnya bagian dari jihad fi sabilillah. Akhir-akhir ini tantangan NU dalam berjihad menegakkan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan mempertahankan NKRI semakin berat, khususnya yang datang dari kelompok radikal baik semata-mata mengusung paham-paham keagamaan murni maupun sebagai kedok dengan tujuan akhir revolusi kekuasaan dan pembubaran NKRI. 
B.      Pembahasan
1.    Keterlibatan Fiqh Aswaja Dalam Berbangsa dan Bernegara
Nahdlatul Ulama’ telah banyak merumuskan keputusan tentang persoalan negara, kebangsaan dan pemerintahan, antara lain :
a.    Negara Indonesia adalah negara Islam.
Menurut para ulama, bahwa Negara Indonesia dapat dikategorikan sebagai darul Islam (negara Islam), bukan daulah Islamiyyah (pemerintahan Islam), karena mayoritas penduduk di wilayah ini beragama Islam dan dapat melaksanakan syari’at Islam dengan bebas dan secara terang-terangan. Hal ini merujuk pada kitab Syarh Arba’in Nawawi hal. 10 dan Bughyatul Mustarsyidin hal. 254. (Muktamar NU ke 11 tahun 1936 di Banjarmasin, Bahtsul Masail PWNU Jatim tahun 2004 di Banyuwangi, Munas NU tahun 2012 di Cirebon).
b.    Status Presiden RI adalah Waliyyul Amri Dharuriy bis Syaukah (penguasa pemerintahan secara darurat sebab kekuasaanya). Hal ini dikarenakan ketidak-mungkinan mendapat pemimpin yang memenuhi syarat yang ideal, dengan demikian bagaimanapun pemimpin tetap harus ada, agar urusan berbangsa dan bernegara terjaga dan tidak terbengkalai. (Muktamar NU ke 20 tahun 1954 di Surabaya).
c.    Nasbul Imam dan Demokrasi. Memilih pemimpin yang mampu mengemban amanat adalah wajib hukumnya. Bagi NU demokrasi adalah perwujudan Syura dalam Islam yaitu asas bermusyawarah sesuai mekanisme yang benar guna membuahkan keputusan yang terbaik dan paling maslahah. (Munas NU tahun 1997 di Lombok Tengah).
d.   Asas Tunggal Pancasila. Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia telah disepakati dan diterima sebagai pedoman hidup bersama yang mengikat semuanya dalam menjalankan hidup bermasyarakat, beragama dan bernegara. Maka menjadi penting memahami pancasila dan hubungannya dengan Indonesia sebagai darul Islam. Oleh karena itu, penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Jadi dalam hal ini, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (Muktamar NU XXVII tahun 1984 di Situbondo, Munas NU tahun 2012 di Cirebon).

e.   Pemilukada dan Pilpres. Dalam pandangan Islam, pemimpin negara adalah pelanjut tugas pokok kenabian yaitu menjaga Agama (حراسة الدين) dan mengatur dunia (سياسة الدنيا). Mengingat pentingnya tugas pemimpin (imam), maka negara wajib dipimpin oleh seorang imam yang cakap memegang tampuk pemerintahan. Syariat Islam sendiri tidak menentukan sistem apa yang harus dipakai dalam pemilihan pemimpin dalam sebuah pemerintahan. Namun hendaknya diwaspadai model pemimpin yang lahir secara instan, yaitu para pemimpin yang tidak mengukur kemampuan dirinya sendiri dan lebih banyak melihat kekuasaan sebagai media menuju kenikmatan pribadi. Indikasinya pelaksanaan pilpres dan pemilukada  banyak menimbulkan kamadlaratan, seperti konflik sosial, memecah belah  kerukunan, money politik dan berujung pada korupsi serta menghabiskan anggaran negara yang besar. (Munas NU tahun 2012 di Cirebon)
2.    Radikalisme
Radikalisme merupakan faham, wacana dan aktivisme yang berupaya mengubah sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya yang ada secara radikal. Oleh karena itu radikalisme-Islamisme, yaitu faham, wacana dan aktivisme yang bertujuan mengubah sistem di atas secara radikal agar menjadi sistem Islami (versi mereka). Radikalisme memiliki dua dimensi terpenting : (1) Kekerasan, dalam pengertian menerima kekerasan sebagai cara yang sah untuk mengubah sistem yang ada dan (2) Usaha aktif dan militan melakukan perubahan didalam masyarakat secara radikal walaupun tidak selalu menggunakan kekerasan.
Setidaknya sudah berjalan lebih dari satu decade, kita menyaksikan bahkan merasakan adanya gerakan dengan ciri-ciri sebagai gerakan radikal dengan isu mendirikan negara khilafah. Guna mendapatkan dukungan khususnya dari kalangan muda, mereka mengusung isu “Indonesia masih jahiliyyah (kafir)” karena tidak menggunakan syari’ah (al-Qur’an dan al-Sunnah) sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Sebagai indikasinya menurut mereka, negara tidak mewajibkan perempuan agar bercadar, tidak menerapkan hukuman potong tangan, qishas, diyat dan lain sebagainya. Oleh karena itu menurut mereka, pemerintah Indonesia mulai pusat sampai yang paling bawah serta pihak mana saja yang mendukungnya dianggap kafir dan halal diperangi.
Nahdlatul Ulama’ memiliki sikap tegas jelas tentang khilafah dan takfir (menghukumi seseorang sebagi kafir), yaitu :
a.    Khilafah.
Khilafah sebagai system pemerintahan tidak ditemukan dalil nashnya, namun ia merupakan persoalan ijtihadiyyah, karena bagi NU negara dengan pemerintahannya adalah sarana  guna mencapai tujuan, sehingga negara sebagaimana Indonesia yang tidak menggunakan system khilafah, tidaklah serta merta sah disebut negara kafir, walaupun ada sebagian hukum-hukum Islam tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna.
Pandangan seperti ini telah diputuskan PWNU Jawa Timur melalui bahtsul masailnya di Genggong pada tahun 2007 dan di Pesma al-Hikam Malang tahun 2006, yaitu :
Pertanyaan :
Adakah tuntutan Syari'ah berbentuk dalil nash yang mengharuskan pembakuan bentuk khilafah dalam sistem ketatanegaraan Islam ? 
Jawaban :
Tidak ditemukan dalil nash mengenai hal itu, karena bentuk pemerintahan sistem khilafah adalah masalah ijtihadiyyah, dan adanya sebagian hukum syari’at Islam yang belum dapat dilaksanakan walaupun akibat kecerobohan umat Islam, tidak dapat merubah status negara sebagai negara kafir.

شرح النووي على صحيح مسلم جز12 ص 161 للأمام النووي
عن سَالِمِ بنِ عَبْدِ الله بنِ عُمَر عن أَبِيهِ قَالَ ،: قِيلَ لِعُمَرَ بنِ الْخَطَّابِ: لَوْ اسْتَخْلَفْتَ. قَالَ إِنْ أَسْتَخْلِفْ فَقَدْ اسْتَخْلَفَ أَبُو بَكْرٍ وَإِنْ لَمْ أَسْتَخْلِفْ لَمْ يَسْتَخْلِفْ رَسُولُ الله  وفي هذا الحديث دليل أن النبي صلى الله عليه وسلّم لم ينص على خليفة وهو إجماع أهل السنة وغيرهم
الجهاد فى الإسلام ص : 81
يلاحظ من معرفة هذه الأحكام أن تطبيق أحكام الشريعة الإسلامية ليس شرطا لاعتبار الدار دار الإسلام ولكنه حق من حقوق دار الإسلام الله إياها فإن هذا التقصير لا يخرجها عن كونها دار الإسلام ولكنه يحمل المقصرين ذنوبا وأوزارا. اهـ

شرح المحلى على جمع الجوامع جز 2 ص 275 لجلال الدين المحلي
قال صلى الله عليه وسلم "«الخلافة من بعدي ثلاثون سنة ثم تكون ملكاً» أي تصير. أخرجه أبو حاتم وأحمد في المناقب،
شرح النووي على مسلم - (ج 6 / ص 291)
وَفِي هَذَا الْحَدِيث : دَلِيل أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَنُصّ عَلَى خَلِيفَة ، وَهُوَ إِجْمَاع أَهْل السُّنَّة وَغَيْرهَا
Pertanyaan :
Bagaimana kecenderungan mufassirin dalam menyimpulkan perintah memasuki Islam secara kaffah sesuai teks ayat : أدْخـُلوُا فِى السِّـلْمِ كَافَّةً (QS. al-Baqarah : 208)?
Jawaban :
Kecenderungan mufassirin dalam menafsirkan perintah masuk Islam secara kaffah ada dua golongan yaitu :
a)    Perintah masuk Islam bagi seluruh umat manusia.
b)   Perintah terhadap umat Islam agar menerapkan syari’at secara penuh dengan sekuat kemampuannya.

التفسير الكبير للإمام فخر الدين محمد بن عمر الرازى {ط.دار الكتب العلمية}
(يَاأيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوا) بِالألْسِنَةِ (أدْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَافَّةً) أى دُومُوا عَلَى الإِسْلاَمِ فِيمَا يَسْتَأنِفُوْنَهُ مِنَ العُمْرِ وَلاَ تَخْرُجُوا عَنْهُ وَلاَ عَنْ شَرَائِعِهِ .... الى أن قال ... قَالَ القَفَّالُ (كافة) يَصِحُّ أنْ يُرْجَعَ الَى المَأمُورِينَ بِالدُّخُولِ اى أُدْخُلُوا بِأجْمَعِكُمْ فِى السِّلمِ وَلاَ تَفَرَّقُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا - الى ان قال-  وَيَصْلُحُ أنْ يُرْجَعَ اِلَى الإِسْلاَمِ كُلِّهِ اى فِى كُلِّ شَرَائِعِهِ، قالَ الوَاحِدِى رَحِمَهُ الله: هَذَا ألْيَقُ بِظَاهِرِ التَّفْسِيرِ لأنَّهُمْ أُمِرُوا بِالقِيَامِ كُلِهَا
b.    Takfir
Persoalan menghukumi kafir, bagi NU adalah persoalan berat dan berhaya. Rusululah bersabda :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ «إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهَمَا».
PWNU di Tulungagung tahun 2013 telah memutuskan mengenai kreteria takfir (menghukumi kafir), yaitu :
Pertanyaan :
Sejauh mana tuduhan kafir pada person, institusi atau kelompok orang dapat dibenarkan dibenarkan?
Jawaban :
Menuduh kafir kepada person atau intitusi tidak dapat dibenarkan, kecuali  yang dituduh benar-benar terbukti melakukan sebab kekafiran.
قال العلامة الامام السيد أحمد مشهور الحداد وقد انعقد الاجماع علي منع تكفير أحد من أهل القبلة الا بما فيه نفي الصانع القادر جل وعلا اوشرك جلي لايحتمل التأويل اوانكار النبوة اوانكار ماعلم من الدين بالضرورة اوانكار متواتر اومجمع عليه ضرورة من الدين والمعلوم من الدين ضرورة كالتوحيد والنبوات وختم الرسالة بمحمد صلي الله عليه وسلم والبعث في اليوم الأخر والحساب والجزاء والجنة والنار يكفر جاحده ولايعذر أحد من المسلمين بالجهل به الا من كان حديث عهد بالاسلام فانه يعذر الي ان يتعلمه ثم لايعذر بعده الي ان قال وان الحكم علي المسلم بالكفر في غير هذه المواطن التي بيناها أمر خطير وفي الحديث "اذا قال الرجل لأخيه ياكافر فقد باء بها أحدهما" (رواه البخاري) ولا يصح صدوره الا ممن عرف بنور الشريعة مداخل الكفر ومخارجه والحدود الفاصلة بين الكفر والايمان في حكم الشريعة الغراء (مفاهيم يجب ان تصحح ص 81  و 82 للسيد محمد بن علوي بن عباس المالكي المكي الحسني)

Al-Allamah al-Imam al-Sayyid Ahmad Masyhur al-Haddad berkata, telah menjadi ijma’ tidak boleh mengkafirkan siapapun dari ahli kiblat kecuali sebab yang mengandung penafian (pengingkaran) terhadap wujud Allah al-Shani’ al-Qadir Jalla wa ‘Ala, syirk jaliy yang tidak mungkin ditakwil, pengingkaran kenabian, pengingkaran hukum yang telah maklum dari agama secara dlaruriy (pasti), pengingkaran hadits mutawatir, pengingkaran hukum yang telah menjadi ijma’ secara dlaruriy dari agama. Persoalan yang telah maklum secara dlaruriy seperti tauhid, kenabian, penutup kerasulan dengan Nabi Muhammad SAW, ba’ats di hari akhir, hisab dan jaza’, surga dan neraka. Orang yang mengingkarinya adalah kafir dan tidak seorangpun diterima alasan ketidak tahuannya kecuali ia baru masuk agama Islam, maka ia dapat diterima alasannya sampai dia belajar agama, kemudian sesudah itu tidak diterima alasannya ….sampai ungkapan muallif…Sesungguhnya menghukumi orang Islam dengan kufur dalam selain tempat-tempat yang telah kami jelaskan, adalah urusan yang berbahaya. Dijelaskan dalam hadits “apabila seseorang memanggil kawannya “hai kafir”, maka sungguh salah satu dari keduanya telah kembali (murtad)”. HR : Bukhari. Vonis kufur tidaklah sah kecuali dari orang yang sebab cahaya syari’ah, ia mengetahui celah-celah masuk kedalam kekufuran dan celah-celah keluarnya, serta batas-batas pemisah antara kufur dan iman menurut hukum syari’at yang cemerlang.
3.    NKRI Sudah Final Bagi NU
Ada tiga alasan mendasar, NU menyatakan bahwa NKRI sudah final :
a.    Bagi Nahdlatul Ulama’ negara adalah sarana guna mencapai tujuan yaitu menjamin dan melindungi kehidupan manusia menuju maslahah ‘ammah yang selaras dengan tujuan syariat, yaitu terpeliharanya lima hak dasar manusia (al-ushulul-khams) yaitu, perlindungan agama, perlindungan jiwa (kehormatan), perlindungan akal, perlindungan keturunan dan perlindungan harta.
b.    Nahdlatul Ulama’ dalam persoalan bentuk negara lebih mementingkan substansi bukan lahiriahnya. Oleh karena itu, sekalipun negara yang kita huni dan mesti kita cintai ini disebut Negara Kesatuan Republik Indosesia (NKRI), tetapi secara substansial adalah negara Islam sebagaimana dijelaskan di atas.
c.    Nahdlatul Ulama’ menyadari akan kemajemukan Indonesia, baik agama, suku, ras, bahasa dan adat istiadat, sehingga memerlukan kearifan dalam memilih dan menentukan bentuk negara agar kemajemukan tetap terjaga dengan baik, sekaligus kebersamaan dan persatuan dapat dicapai tanpa ada pihak yang tersinggung dan terciderai. Dengan demikian, kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, tentram, aman dan sentosa harus menjadi prioritas, bukan formalitas “Islam, Khilafah, Syari’ah atau lainnya” namun justru malah berujung pada perpecahan dan pertikaian. (disarikan dari Munas NU tahun 2012 di Cirebon) 
4.    Makna Jihad Bagi NU
Keputusan PWNU tahun 2006 di Pesma Al-Hikam Malang tentang makna “Jihad” dalam kontek negara Indonesia :
a.    Apakah kecenderungan umum perletakan istilah jihad dalam ungkapan Al-Qur'an dan Hadis Nabawiy ?
b.    Apa amaliyah nyata sebagai media mengekspresikan jihad bagi individu dan kelompok muslim ?
Jawaban a :

الـفـقــه الـمـنـهـجـي عــلــى مــذهــب الإمــام الـشــافــعـي مجلد : 3  ص : 475، ف : دكتور مصطفى الخن, دكتور مصطفى البغا, على الشريجى , ط : دار القلم, دار الشامية دمشق, 1416 – 1996   وعبارته :
معــنى الـجــهــاد :
الـجِـهَــادُ فِي اللّـُغَــةِ  مَــصْــدَرُ جَــاهَـــدَ، اَيْ بَـــذَلَ جُــهْــدًا فِي سَـبِــيْـلِ الْــوُصُــوْلِ إِلىَ غَـايَــةٍ مَـا.
وَالْـجِـهَـادُ فِي اصْـطِــلاَحِ الـشَّــرِيْــعَــةِ ألإِسْــلاَمِـيَّــةِ : بَــذْلُ الْــجُــهْــدِ فِـي سَــبِـيْـلِ إِقـَـامَــةِ الْـمُـجْـتـَمَــعِ الإْسْــلاَمِـيِّ ، وَأَنْ تـَـكُــوْنَ كـَـلِــمَـةُ اللهِ هِــيَ الْـعُـلْـيَـا ، وَأَنْ تـَـسْــوَدَّ شَــرِيـْـعَــةُ اللهِ فِي الْــعَـالَــمِ كُــلِّــهِ .
Terjemah :
Kata jihad yang merupakan bentu masdar dari kata kerja jaa-ha-da dalam pengertian bahasa adalah mencurahkan kesungguhan dalam mencapai tujuan apapun.
Kata jihad dalam istilah syariat Islam adalah mencurahkan kesungguhan dalam upaya menegakkan/mendirikan masyarakat yang Islami dan agar kalimah Allah (ajaran tauhid) menjadi mulia serta syari’at Allah dapat dilaksanakan diseluruh penjuru dunia.
Jawaban b :
الـفـقــه الـمـنـهـجـي عــلــى مــذهــب الإمــام الـشــافــعـي مجلد : 3  ص : 475، ف : دكتور مصطفى الخن, دكتور مصطفى البغا, على الشريجى , ط : دار القلم, دار الشامية دمشق, 1416 – 1996   وعبارته :
مِنَ الــتـَّـعْــرِيْــفِ الَّـذِيْ ذَكـَـرْنـَـاهُ لِلْـجِـهَــادِ ، يـَـتـَّضِـحُ أَنَّ الْـجِـهَــادَ أَنْــوَاعٌ  مِــنْــهَـا :
1.   الـْـجِــهـَـادُ بِالـتـَّعْـلِــيْـمِ، وَنـَـشْــرِ الْــوَعْــيِ ألإِسْــلاَمِـيِّ ، وَرَدِّ الـشُّـبَـهِ الْـفِــكْــرِيـَّـةِ الـَّتـِي تـَعْـتـَـرِضُ سَـبِـيْـلَ الإِيْـمـَـانِ بِــهِ ، وَتـَـفـَهُّــمَ حَــقـَـائِــقِــهِ .
2.   الْـجِـهـَـادُ بِـبَـــذْلِ الْـمَــالِ لِــتـَـأْمِــيْــنِ مَـا يَـحْـتـَـاجُ إِلـَـيْــهِ الْـمُـسْـلِـمُــوْنَ فِي إِقـَـامَــةِ مُـجْـتـَـمَـعِــهِــمُ الإِسـْـلاَمِـيِّ الْـمَـنْـشُــوْدِ .
3.   الْـقِــتـَـالُ الــدِّفـَـاعِـيُّ  : وَهـُــوَ الـَّـذِيْ يَـتـَـصَــدَّى بـِـهِ الْـمُـسْـلِـمُــوْنَ لِـمَــنْ يُــرِيـْـدُ أَنْ يَــنـَـالَ مِــنْ شَــأْنِ الْـمُـسْـلِـمِـيْـنَ فِـي دِيْــنِــهِــمْ .
4.   الْــقِــتـَـالُ الْـهُـجُـــوْمِـيِّ : وَهُــوَ الـَّـذِيْ يـَـبْــدَؤُهُ الْـمُـسْـلِـمُــوْنَ عِــنْــدَ مـَا يَـتـَجَــهَّـــوْنَ بِـالــدَّعْــوَةِ الإِسْــلاَمِــيَّــةِ إِلَـى الأُمَـــمِ ألأُخْــرَى فِي بـِــلاَدِهـَـا ، فَـيَــصُــدُّهُــمْ حُــكـَّـامُــهـَـا عـَــنْ أَنْ يُـبَـلِّــغُـــوْا بِـكـَلِـمَـةِ الْــحَــقِّ سَــمْــعَ الـنـَّـاسِ .
5.   حَــالـَـةُ الـنَّــفِــيْــرِ الْــعـَـامِّ وَذَلِــكَ عِــنْــدَ مـَا يَــقـْـتـَـحِــمُ أَعْــدَاءُ الْـمُـسْلِـمِـيْـنَ دِيـَـارَهـُــمْ مُــعْــتـَـدِّيـْـنَ بِــذَلِــكَ عَـــلـَى دِيـْـنِــهِــمْ وَاَرْضِـــهِـــمْ وَحُــرِيـَّـةِ إِعْــتِـــقـَـادِهـِــمْ
Terjemah :
Dari definisi yang telah kami tuturkan tentang jihad, telah jelas bahwa jihad itu bermacam-macam, diantaranya :
1.    Jihad dengan menyelenggarakan pendidikan, menyebarluaskan persatuan Islam, menangkal pemikiran-pemikiran mengkaburkan yang dapat menghalangi jalan menuju iman dan memehami hakikat iman.
2.    Jihad  dengan membelanjakan harta guna memenuhi keperluan umat Islam dalam menegakkan masyarakat Islam yang dicita-citakan.
3.    Peperangan pertahanan, yaitu peperangan yang dilakukan kaum muslimin guna menghadapi musuh yang ingin mendapatkan urusan kaum muslimin dalam bidang agamanya.
4.    Peperangan penyerangan, yaitu peperangan yang dimulai oleh pihak kaum muslimin ketika mereka menyampaikan da’wah Islam kepada umat lain dinegaranya, lalu hakim-hakim negara itu menghalangi umat Islam menyampaian kalimah yang benar ke telinga umat manusia.
5.    Peperangan umum, yaitu ketika musuh-musuh Islam telah memasuki daerah-daerah umat Islam dengan melancarkan serbuan kepada agama, bumi dan kemerdekaan berkeyakinan

الـــفــقــه الإســلامـي و أدلــتـــه ، ج : 8 ، ص : 5846 وعبارته :
فـَالْـجِـهَــادُ يَـكُــوْنُ بـِالـتَّـعْـلِـيْــمِ وَتـَـعَــلُّـــمِ أَحْــكـَـامِ الإْسْــلاَمِ وَنَــشْــرِهـَـا بَـيْـنَ الــنَّــاسِ وَبِـبَــذْلِ الْــمَـالِ وَبـِالْـمُـشَــارَكـَـةِ فِـي قِــتـَـالِ الأَعْـــدَاءِ إِذَا أَعْــلَــنَ الإِمَــامُ الْـجِـهَــادَ ، لِـقـَـوْلـِـهِ صلى الله عليه وسلم : " جـَـاهِــدُوا الْـمُـشْــرِكِـيْــنَ بِـأَمْــوَالِــكُــمْ وَ اَنْـفُـسِــكُــمْ وَأَلْـسِــنَــتِــكُـــمْ " . (رواه النسائي)
Jadi jihad bisa dilakukan dengan cara mengajar, mempelajari hukum-hukum Islam dan menyebarluaskannya, membelanjakan harta dan berpartisipasi berperang menghadapi musuh apabila imam / pimpinan telah meninstruksikan jihad (perang), karena berdasar firman Allah swt (artinya) : “Perangilah orang-orang musyrik dengan harta kalian, jiwa kalian dan lesan kalian”
C.      Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan :
1.      Ber “NU” wajib niat memperbaiki diri lahir dan bathinnya, agar dapat meraih  kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Oleh karena itu, seluruh warga NU wajib mengerti dan mengamalkan ajaran “Islam Ahlussunnah wal Jama’ah al-Nahdliyyah” dengan sebaik-sebaiknya.
2.      NU adalah organisasi yang menempatkan ulama’ sebagai “sentral figur teladan”, sehingga seluruh gerak langkah dan sikap warga NU dalam urusan apapun, senantiasa kosisten dengan tuntunan syariat agama sesuai pola pemahaman agama para ulama’nya (ulama’ NU).
3.      Warga NU secara individu maupun kelompok dalam bersikap dan bertindak mengenai urusan apa saja, harusnya mencerminkan karakteristik khas NU, yaitu al-Tawassuth dan Rahmatan lil ‘Alamin dengan benar.
4.      Jihad warga NU dalam kontek ke-Indonesiaan adalah mempertahaan, membela dan membangun NKRI guna meraih tujuan negara, bukan mengubah bentuk negara dan Pancasila.
5.      Terhadap kelompok radikal agama dan politik, warga NU harus waspada dan bersikap tegas untuk menolaknya dengan pola amar ma’ruf nahi munkar, sekaligus mendorong dan memberi masukan kepada pemerintah agar bertindak tegas.
Terima kasih, semoga berkenan.

Ahmad Asyhar Shafwan

JQH:
Kelompok yang menghafal ayat yang ujungnya menyerang kepada warga NU padahal ia tidak bias mengamalkannya seperti dalam ash-Shaff: 3 ?
صحيح مسلم - (ج 1 / ص 50)
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ ».
Tangan: Adalah PENGUASA
Lisan adalah ULAMA
Inkar dengan hati adalah MASYARAKAT UMUM (al-Ghunyah)
Merealisasikan hasil kader penggerak yang diikuti oleh para peserta kader penggerak.
Lebih baik mana pemimpin islam tapi korupsi atau non muslim tapi adil bijaksana?

Muslimat: HTI rajin mendatangi pengajian NU, diiming-imingi pengurus tingkat wilayah.
NU rajin turba
Fatayat: Seolah bagi kita dalil sudah clear, tapi bagi ‘mereka’ belum. Pernahkah NU mengajak duduk bersama dengan mereka?

[1] KH. Ahmad Siddiq, Khitthah Nahdliyyah, (Khalista –LTN NU Jatim, cet. IV, 2006), 38

http://dulwakwak.blogspot.com/2015/01/nkri-dalam-pandangan-aswaja.html?m=1

Cinta Tanah Air

Ketika Hukum Syariat Islam Bicara Cinta Tanah Air

Hafiz, NU Online | Kamis, 11 Agustus 2016 21:01
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang saya hormati, beberapa waktu ada seorang teman lama datang ke rumah. Kami mengobrol ke sana-ke sini. Di tengah obrolan teman saya membicarakan soal Indonesia sebagai tanah air kita bersama.

Ia menyatakan bahwa cinta tanah air Indonesia tidak disyariatkan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ‘hubbul wathan minal iman’ (cinta tanah air sebagian dari iman) bukanlah hadits sehingga mencintai Indonesia sebagai tanah air itu bukan sesuatu yang masyru` atau disyariatkan karena tidak ada dalilnya.

Yang ingin saya tanyakan adalah apakah mencintai Indonesia yang merupakan tanah air kita dan dihuni oleh mayoritas umat Islam adalah memang tidak disyariatkan? Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Agung/Brebes)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Tanah air sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah negeri tempat kelahiran. Al-Jurjani mendefiniskan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.

اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ

Artinya, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya,” (Lihat Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani, At-Ta`rifat, Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, cet ke-1, 1405 H, halaman 327).

Dari definisi ini maka dapat dipahami bahwa tanah air bukan sekadar tempat kelahiran tetapi juga termasuk di dalamnya adalah tempat di mana kita menetap. Dapat dipahami pula bahwa mencintai tanah air adalah berarti mencintai tanah kelahiran dan tempat di mana kita tinggal.

Pada dasarnya setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.

Rasulullah SAW sendiri pernah mengekspresikan kecintaanya kepada Mekah sebagai tempat kelahirannya. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban berikut ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ

Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu,” (HR Ibnu Hibban).

Di samping Mekah, Madinah adalah juga merupakan tanah air Rasulullah SAW. Di situlah beliau menetap serta mengembangkan dakwah Islamnya setelah terusir dari Mekah. Di Madinah Rasulullah SAW berhasil dengan baik membentuk komunitas Madinah dengan ditandai lahirnya watsiqah madinah atau yang biasa disebut oleh kita dengan nama Piagam Madinah.

Kecintaan Rasulullah SAW terhadap Madinah juga tak terelakkan. Karenanya, ketika pulang dari bepergian, Beliau memandangi dinding Madinah kemudian memacu kendarannya dengan cepat. Hal ini dilakukan karena kecintaannya kepada Madinah.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدْرَانِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا

Artinya, “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW apabila kembali dari berpergian, beliau melihat dinding kota Madinah, maka lantas mempercepat ontanya. Jika di atas atas kendaraan lain (seperti bagal atau kuda, pen) maka beliau menggerak-gerakannya karena kecintaanya kepada Madinah,” (HR Bukhari).

Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika kembali dari bepergian, yaitu memandangi dinding Madinah dan memacu kendaraannya agar cepat sampai di Madinah sebagaimana dituturkan dalam riwayat Anas RA di atas, menurut keterangan dalam kitab Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani menunjukkan atas keutamaan Madinah disyariatkannya cinta tanah air.

وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّةِ حُبِّ الْوَطَنِ وَالْحَنِينِ إِلَيْهِ

Artinya, “Hadits tersebut menunjukan keutamaan Madinah dan disyariatkannya mencitai tanah air serta merindukannya” (Lihat, Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, Beirut, Darul Ma’rifah, 1379 H, juz III, halaman 621).

Dari penjelasan singkat ini maka setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa mencintai tanah air merupakan tabiat dasar manusia, di samping itu juga dianjurkan oleh syara` (agama) sebagaimana penjelasan dalam kitab karya Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dikemukakan di atas.

Kesimpulannya adalah bahwa mencintai tanah air bukan hanya karena tabiat, tetapi juga lahir dari bentuk dari keimanan kita. Karenanya, jika kita mendaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya mayoritas Muslim merupakan keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air sebagian dari iman).

Konsekuensi, jika ada upaya dari pihak-pihak tertentu yang berupaya merongrong keutuhan NKRI, maka kita wajib untuk menentangnya sebagai bentuk keimanan kita. Tentunya dalam hal ini harus dengan cara-cara yang dibenarkan menurut aturan yang ada karena kita hidup dalam sebuah negara yang terikat dengan aturan yang dibuat oleh negara.

Saran kami, cintailah negeri kita dengan terus merawat dan menjaganya dari setiap upaya yang dapat menghancurkannya.

Demikian jawaban kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb.

(Mahbub Maafi Ramdlan)

Bela Negara Fardlu Ain

SANTRI BELA NEGARA
Kiai Said: Membela Negara Hukumnya Fardlu Ain

Mahbib, NU Online | Ahad, 22 November 2015 08:15
Jakarta, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan wajib bagi setiap individu untuk membela negara dan Tanah Air tercinta. "Membela negara hukumnya fardlu ain," ujarnya di hadapan peserta apel bela negara di markas kolinlamil TNI AL, Jakarta Utara, Sabtu (21/11).
<>
Kewajiban membela negara, kata Kiai Said, sebagaimana wajibnya melaksanakan perintah shalat lima waktu bagi umat Islam. "Ini ditegaskan oleh fatwa Hadratussyaikh KH Muhammad  Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, kakeknya Presiden Abdurrahman Wahid," katanya disambut aplaus hadirin.

Doktor jebolan Universitas Ummul Quro Mekah Arab Saudi ini menambahkan, mati dalam rangka membela Tanah Air dianggap mati syahid. "Sama dengan mati dalam membela agama," tegas Kiai Said.

Sebaliknya, barangsiapa bekerja sama dan membela penjajah maka halal darahnya dan layak dibunuh. "Mereka tetap muslim, tidak kafir. Tapi boleh dibunuh, halal darahnya. Ini bagi siapa saja yang berkhianat kepada Tanah Air. Itulah salah satu fatwa Mbah Hasyim Asyari dalam Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945," papar Kiai Said.

Jawaban Mbah Hasyim tersebut, kata Kiai Said, menjawab pertanyaan tentang hukum membela negara dan Tanah Air yang diajukan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Panglima Besar Jenderal Sudirman melalui seorang utusan yang dikirim mereka.

Dengan demikian, lanjutnya, para santri dari berbagai daerah di Jawa Timur semua siap menyambut kedatangan pasukan NICA yang membonceng pasukan sekutu di bawah Komandan Brigjen Mallaby asal Inggris. Begitu pasukan asing mendarat di Surabaya, para santri siap mati syahid demi membela keutuhan NKRI mempertahankan proklamasi kemerdekaan.

"Kurang lebih 20 santri gugur. Tapi Alhamdulillah di hari pertama perang, Brigjen Mallaby mobilnya meledak. Sopirnya, ajudannya, dan dia sendiri semuanya mati. Nah, yang memasang bom di mobilnya Mallaby ini, mohon maaf, bukan TNI bukan siapa-siapa, tapi santri Tebuireng, namanya Harun," tutur Kiai Said disambut aplaus para santri.

Kiai nyentrik ini lalu mengisahkan lagi peran heroik santri lainnya. Namanya Cak Asy'ari . Dengan gagah berani, santri ini naik ke atap hotel Orien. Sekarang berubah menjadi hotel Majapahit di Surabaya. Ia lalu menurunkan bendera Belanda, merobek-robek yang warna biru. Kemudian tinggallah merah putihnya saja. Lalu, dinaikkan kembali bendera tersebut.

"Meski ditembaki dari kanan kiri dan juga dari bawah, dia Alhamdulillah tetap selamat. Itulah rangkaian sejarah yang sangat penting di mana para kiai dan santri semangat membela kemerdekaan Tanah Air kita," tandasnya.

Menurut Kiai Said, hari ini (kemarin) PBNU menggelar kegiatan santri bela negara setelah Presiden Jokowi meresmikan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2015 yang kebetulan nomor Keppresnya juga 22. "Tanggal tersebut ternyata bertepatan dengan 9 Muharram 1436 H. Itu hari yang mulia bagi Umat Islam. Luar biasa, semuanya telah diatur oleh Tuhan," ujarnya bangga.

Ketua LPOI ini menambahkan, ke depan, setiap tahun selain ada peringatan hari santri nasional juga akan digelar acara pelayaran santri bela negara dalam skala yang lebih besar, lebih baik, dan lebih teratur. (Musthofa Asrori/Mahbib)

Makalah Bela Negara

Pengertian, Nilai, Upaya, dan Dasar Hukum Bela Negara - Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga Negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara serta keyakinan akan pancasila sebagai ideologi Negara guna menghadapi ancaman baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri yang membahayakan dan mengancam kedaulatan baik kedaulatan di bidang Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan Negara.

Nilai-Nilai Bela Negara !
Cinta Tanah Air.
Sadar Berbangsa dan Bernegara.
Yakin pada Pancasila sebagai Ideologi Negara.
Rela Berkorban untuk Bangsa dan Negara.
Memiliki kemampuan awal Bela Negara secara Psikis maupun Fisik.
Baca Juga : Proses Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara
Dasar Hukum Bela Negara !

1.  UUD 1945 Pasal 27 Ayat (3) :” Bahwa tiap warga Negara behak dan wajib ikut serta dalam upaya bela Negara”.

2.  UUD 1945 Pasal 30 Ayat (1) dan (2) :”Bahwa tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Usaha Pertahanan dan Keamanan Negara dilaksanakan melalui Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta oleh TNI dan Kepolisian sebagai Komponen Utama, Rakyat sebagai Komponen Pendukung”.

3.  UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 6B :” Setiap Warga Negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara, sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.
4.  UU No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara Pasal 9 Ayat (1) :” Setiap Warga Negara Berhak dan wajib ikut serta dalam upaya Bela Negara ysng diwujudkan dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara”.

5.  UU No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara Pasal 9 Ayat (2) :” Keikutsertaan warga Negara dalam upaya bela Negara dimaksud ayat (1) diselenggarakan melalui :
Pendidikan Kewarganegaraan
Pelatihan dasar kemiliteran
Pengabdian sebagai prajurit TNI secara sukarela atau wajib dan
Pengabdian sesuai dengan profesi.
Upaya Bela Negara
1.  POLRI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara kemananan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum,serta memberikan terpeliharanya keamana dalam negeri.
2.  TNI berperan sebagai alat pertahanan NKRI.

Tugas TNI adalah  :
Mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah
Melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa
Melaksanan operasi milliter selain perang
Ikit serta secara aktif dalam tugas pemeliaraan perdamaian regional dan intermasional.

Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang teroganisasi dan dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara.

UURI No 3 Tahun 2002, ancaman militer dapat berbentuk  :
Agresi berupa penggunaan kekuatann bersenjata oleh negara lain terhadap kedaulatan negara,dan keselamatan segenao bangsa
Pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh negara lain,baik menggunakan kapal maupun pesawat  non komersial
Pemberontakan bersenjata

Pengabdian sesuai profesi
Pengabdian sesuai profesi adalah pengabdian warga negara yang mempunyai profesi tertentu untuk kepentingan pertahanan negra termasuk dalam menanggulangi dan atau memperkecil akibat yang ditimbulkan oleh perang,atau bencana alam.