Minggu, 19 Juli 2015

Kondisi politik 1980-1990


Politik Indonesia Akhir 1980-an - Awal 1990-an, Sebuah Kajian Kontemporer

Kehidupan Politik Indonesia pada tahun 1990-an dilatarbelakangi pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Kebijakan-kebijakan ekonomi, terutama sejak jatuhnya pasar minyak dunia pada awal tahun 1880-an, telah menuaikan hasil. Indonesia telah menderagulasi perekonomiannya, membebaskan sektor perbankan, dan dengan sekuat tenaga memajukan sektor nonmigas. Bank Dunia pun menunjuk Indonesia sebagai suatu “ekonomi Asia Timur yang berkinerja tinggi” dan meramalkan bahwa Indonesia akan memasuki jajaran bangsa-bangsa dengan pendapatan per-kapita menengah menjelang peralihan abad.

Legitimasi Orde Baru milik Soeharto sebagian terdapat pada pembangunan ekonomi yang sukses. Soeharto telah berhasil “memenuhi” janjinya terhadap perkembangan ekonomi. Pemenuhan janji inilah yang 25 tahun yang lalu dirancang oleh Soeharto, Ali Moertopo, dan lain-lain, yang menjadi tulang punggung legitimasi Orde Baru. Orde Baru selalu bisa membandingkan keberhasilannya dengan kehancuran ekonomi pada masa Soekarno. Latar belakang kehancuran ekonomi masa Soekarno telah memberikan konteks yang mendukung bagi legitimasi ideologis yang didasarkan pada janji untuk meluruskan penyelewengan-penyelewengan Pancasila oleh Soekarno. Konsekuensi dari penyelewengan tersebut adalah tidak stabilnya kondisi politik dan perekonomian yang kacau, demikian kata Orde Baru. Tetapi ada pula suara-suara yang menuntut pelurusan implementasi Pancasila dan mengkritik program pembangunan Orde baru yang dianggap sebagai anti-Pancasila. Misalnya, Sri Bintang Pamungkas, yang mengatakan bahwa asas “keadilan sosial” Pancasila telah dilanggar oleh ketimpangan distribusi hasil-hasil pembangunan. Namun, kritik-kritik seperti itu harus menghadapi kenyataan adalah suatu ekonomi politis yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang cepat dan industrialisasi. Dengan demikian, kritik-kritik yang menggunakan Pancasila sebagai pelegitimasian kritik terhadap pemerintah, dilancarkan pada lingkungan ekonomis yang sangat berbeda dari kondisi pada awal Orde Baru.

Perpolitikan formal yang diizinkan di Indonesia pada masa ini secara resmi ditandai oleh konformitas ideologi, semuanya didasarkan pada Pancasila. Islam sebagai suatu gerakan politik, tidak diizinkan menampilkan ideologi alternatifnya terhadap Pancasila, dalam bentuk oposisi terorganisasi terhadap rezim Orde Baru. Partai “Islam”, seperti PPP, tidak pernah memperoleh kekuatan sebagaimana yang dimiliki partai-partai Islam dalam periode sebelum tahun 1973. Kenyataannya, pada tahun 1980-an, banyak orang Islam yang memutuskan untuk menyalurkan aspirasi pada partai pemerintah, Golkar, sebagai cara terbaik. Perkembangannya, pada akhir 1980-an, Presiden Soeharto jarang menyebut ekstremisme Islam sebagai ancaman terhadap Pancasila, pemerintah, atau dirinya. Tidak terlihat adanya ancaman ideologis terhadap Orde Baru baik dari komunis, atau dari Islam fundamentalis.

Wacana Ideologis pada masa ini juga dipengaruhi oleh suatu perkembangan baru, pemerintah mengumumkan bahwa Pancasila adalah suatu “ideologi terbuka”. Pada tahun 1984, Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila itu “terbuka” dalam pelaksanaan dan prakteknya. Menurut pakar politik terkemuka, almarhum Alfian, Pancasila sering hanya dipakai untuk memperlihatkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan, bukannya yang dikehendaki oleh ideologi tersebut.

Konsepsi Soeharto tentang Pancasila sebagai suatu “ideologi terbuka” menggambarkan bahwa beliau menyadari adanya implikasi-implikasi politis dari pemakaian dan fungsi Pancasila dalam wacana nasional. Yaitu, Soeharto selalu membedakan antara penerapan Pancasila yang tidak berbahaya dengan penerapan Pancasila yang mungkin dapat membahayakan kekuasaan atau prerogratif presiden. Nurcholish Madjid menafsirkan kata-kata “ideologi terbuka” berarti bahwa nilai Islam itu sesuai dengan Pancasila, jadi umat tidak boleh menentang Pancasila dengan keyakinan agama. Ideologi terbuka seperti inilah yang bisa diterima. Namun, jika ada upaya untuk memakai Pancasila dengan tujuan menyerang pemerintah, itu tidak akan ditolerir.

Pada perkembangan Pancasila sebagai “ideologi terbuka” dan penerimaan formal Pancasila sebagai “asas tunggal” oleh semua organisasi, pemerintah terus melihat adanya ancaman-ancaman terhadap Pancasila dalam lingkungan yang katanya tidak terdapat ancaman ideologis ini. Sejak akhir tahun 1980-an, pejabat-pejabat pemerintah, terutama ABRI, melihat adanya ancaman dari wilayah demokrasi dan hak asasi. Akhirnya muncul kembali ideologi “integralisme” dan upaya ABRI untuk mengartikan ulang makna Pancasila sebagai suatu ideologi “integralistik”. Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa munculnya kembali integralisme adalah persepsi diri rezim, terutama ABRI, bahwa mereka tidak lagi memonopoli wacana Pancasila. Kebangkitan kembali integralisme juga terjadi disaat Islam mulai dikooptasikan secara terbuka oleh Soeharto. Tekanan untuk adanya keterbukaan dan demokratisasi yang makin meningkat pada akhir 1980-an juga menambah kecemasan ABRI.

Sejak 1988 percaturan politik Indonesia semakin didominasi ketidakpastian, isyu politik banyak beredar, terutama tentang apa yang akan terjadi setelah turunnya Soeharto. Perdebatan tentang suksesi ini telah secara efektif didominasi oleh Soeharto sendiri. Dia masih merupakan satu-satunya tokoh politik dominan di Indonesia. Soeharto adalah satu-satunya angkatan '45 yang masih mempunyai jabatan. Kemudian terjadi perkembangan yang penting, Indonesia tidak lagi diperintah oleh sekumpulan orang tua, telah terjadi regenerasi dalam kepemimpinan di segala bidang. Pemilihan anggota kabinet pada Maret 1993 menggambarkan pembaharuan dalam berbagai posisi kabinet senior, termasuk para penasehat Soeharto yang telah lama menjabat. Pergeseran penting terjadi dalam aliansi-aliansi dalam kepemimpinan politis. Walau Soeharto masih menonjol, tetapi ABRI tidak lagi sepenuhnya mendukung beliau. Ini sudah terlihat sejak tahun 1988 ketika militer berkampanye menentang Soeharto dalam hak wakil presiden, namun tidak ada hasilnya. ABRI lebih berhasil pada tahun 1995, yang pada suatu rekayasa berhasil memaksa Soeharto menerima Jenderal Try Sutrisno, yang merupakan Panglima ABRI, sebagai wakil presiden. Dan juga terdapat persepsi dikalangan ABRI bahwa kepentingan politis Soeharto tidak lagi sejalan dengan kepentingan ABRI tentang institusional dan nasionalnya sendiri.

Tahun 1990-an merupakan masa kebangkitan kultural Islam di Indonesia. Islam telah mengalami suatu renaisans intelektual dan kultural selama dua dasawarsa. Satu perkembangan mencolok dalam lingkungan politik adalah tidak terdengarnya lagi kecurigaan Islam terhadap Pancasila. Sebagian politisi Islam memuji pemerintahan Soeharto telah berbuat lebih banyak untuk Islam. Perkembangan selanjutnya adalah munculnya Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam yang paling dinamis di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid, beliau berada di garis depan sebagai pejuang demokratisasi di Indonesia, dengan menegaskan bahwa Islam dan demokrasi itu saling bersesuaian. Para pemikir Islam yang terkemuka, misalnya Nurcholish Madjid, terus melakukan pemikiran kembali dan penafsiran kembali Islam dalam konteks Indonesia. Norcholish, Abdurrahman wahid, dan pemikir Islam lainnya merupakan generasi baru ilmuwan Islam provokatif yang menggambarkan Islam dalam suatu konteks Indonesia yang inklusif dan demokratis tanpa keharusan untuk mendirikan negara Islam.

Hubungan pemerintah dengan Islam telah berubah secara dramatis sejak 1985. Presiden Soeharto secara terbuka telah mensponsori pembentukan ICMI, suatu organisasi baru Islam yang besar. ICMI telah menarik partisipasi para aktivis, ilmuwan dan politisi yang tadinya menentang kepemimpinan Soeharto. Perkembangan-perkembangan yang berkaitan dengan ICMI dan NU menandai kembalinya perpolitikan Islam berbasis massa di Indonesia.

Dalam tahun-tahun sebelum 1990-an telah muncul dua tantangan terhadap dominasi pemerintah terhadap Pancasila, yaitu dari Islam, dan dari sejumlah isyu termasuk demokratisasi dan hak asasi. Isyu tersebut memperkuat persepsi pemerintah tentang adanya ancaman terhadap Pancasila. Pada tubuh rezim juga terdapat perubahan penting dalam wacana Pancasila, berkaitan dengan persepsi ABRI tentang adanya ancaman ideologis dan hubungan militer dengan Soeharto.

Perkembangan umum dan kecenderungan yang terjadi pada tahun 1980-an dan 1990-an menunjukkan munculnya dua paradoks besar dari Orde Baru-nya Soeharto. Pertama, walau terdapat perkembangan ekonomi dan kemakmuran ekonomi yang terus tumbuh, tetapi diiringi kecemasan para elite politik bahwa pertumbuhan ekonomi terancam oleh perebutan kekuasaan internal yang berkaitan dengan perpolitikan suksesi. Kedua, walau gerakan Islam semakin ditandai oleh pemikiran inklusif, progresif dan bahkan revolusioner dalam hal hubungan Islam dengan negara, Islam di Indonesia ditandai oleh meningkatnya intoleransi dan perbantahan pada tingkat kultural, dan kemungkinan pada tingkat politis juga.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber:

Adnan Buyung Nasution, Cita-cita untuk Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Sebuah Studi tentang Sosio-legal Konstituante Indonesia, 1956-1959. Jakarta: Sinar Harapan, 1992.

Einar M. Sitompul, Nahdladul Ulama dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.

Notonagoro, Pancasila Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1951.

Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan. Jakarta: Mizan, 1987.

Ramage, Douglas E., Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi. Yogyakarta: Matabangsa, 2002.

http://www.kompasiana.com/spirdiac/politik-indonesia-akhir-1980-an-awal-1990-an-sebuah-kajian-kontemporer_54ff6d9ea333114e4a5102c6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar